Samsul Bahri. Diberdayakan oleh Blogger.

BERBAGI ILMU YUK :)

DARI Abu Umamah al-Baahili radhiyallahu ‘anhu BAHWA Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam BERSABDA, إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، حَتَّى النَّمْلَةَ فِى جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ، لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ “SESUNGGUHNYA ALLAH DAN PARA MALAIKAT, SERTA SEMUA MAKHLUK DI LANGIT DAN DI BUMI, SAMPAI SEMUT DALAM LUBAGNYA DAN IKAN (DI LAUTAN, BENAR-BENAR BERSHALAWAT/MENDO'AKAN KEBAIKAN BAGI ORANG YANG MENGAJARKAN KEBAIKAN KEPADA MANUSIA
RSS

Selasa, 26 April 2011

Meneladani Rasul Muhammad SAW Melalui Kisah Para Sahabat


ZAID BIN TSABIT
PENGHIMPUN KITAB SUCI AL-QUR’AN

Bila kita  membawa Al-Qu’an dengan tangan kanan kita, dan menghadapkan wajah kita kepada-Nya, dan selanjutnya menelusuri lembaran demi lembaran, surat demi surat atau ayat demi ayat, maka ketahuilah di antara orang-orang yang telah berjasa besar terhadap kita hingga kita dapat bersyukur dan mengenal karya besar ini adalah seorang manusia utama bernama Zaid bin Tsabit. Dan dalam mengikuti peristiwa-peristiwa pengumpulan Al-Qur’an sampai menjadi satu mushaf (buku), akan selalu diingat bahkan tak dapat dilupakan nama sahabat besar ini.

Dan di kala diadakan penaburan bunga sebagai penghormatan dan kenang-kenangan terhadap mereka yang mendapat berkat karena jasa mereka yang tak ternilai dalam menghimpun, menyusun, menertibkan, dan memelihara kesucian Al-Qur’an, maka Zaid bin Tsabit merupakan pribadi yang mempunyai hak atau jatah terbesar dalam menerima bunga-bunga penghormatan dan penghargaan itu.

******
Ia adalah orang Anshar dari Madinah. Sewaktu Rasulullah SAW. berhijrah ke Madinah umurnya baru 11 tahun. Anak kecil ini ikut masuk Islam bersama-sama keluarganya yang lain yang menganut Islam, dan ia mendapat berkat karena dido’akan oleh Rasulullah SAW.

Ia dibawa oleh orang tuanya berangkat bersama-sama ke Perang Badar tapi Rasulullah menolaknya untuk ikut serta, karena umur dan tubuhnya yang masih kecil.

Di Perang Uhud ia menghadap lagi bersama teman-teman sebayanya kepada Rasul. Dengan berhiba-hiba mereka memohon agar dapat diterima Rasul dalam barisan Mujahidin, bahkan para keluarga anak-anak ini menyokong permintaan itu dengan gigih, penuh pengharapan. Rasul melayangkan pandangan kearah pasukan cilik berkuda itu dengan pandangan terima kasih. Tapi kelihantannya beliau masih keberatan untuk membawa mereka dalam barisan membela dan mempertahankan Agama Allah.

Meneladani Rasul Muhammad SAW Melalui Kisah Para Sahabat


ZAID BIN TSABIT
PENGHIMPUN KITAB SUCI AL-QUR’AN

Tetapi salah seorang di antara mereka yaitu Rafi’ bin Khudaij tampil ke hadapan Rasulullah SAW. Dengan membawa tombaknya lalu berkata kepada Rasulullah SAW. : “Sebagaimana Anda lihat ya Rasulullah, aku adalah seorang pelempar tombak yang mahir, maka mohon aku diizinkan untuk ikut !” Rasul mengucapkan selamat terhadap pahlawan muda ini dengan satu senyuman manis dan ramah, lalu turut mengizinkannya.

Melihat itu teman-temannya yang lain pun bangkit semangat. Maka tampil lagi ke depan anak muda yang kedua, namanya Samurah bin Jundub, dan dengan penuh sopan diperlihatkannya kedua lengannya yang kuat dan kekar, sementara sebagian keluarganya mengatakan kepada Rasul : “Samurah mampu merebahkan badan ornag yang tinggi sekalipun !” Rasul pun berkenan pula melontarkan senyumannya yang menawan dan memerimanya dalam barisan. Kedua anak itu masing-masing sudah berumur lima belas tahun di samping mempunyai pertumbuhan badan yang kuat.

Dari kelompok anak-anak itu masih tinggal enam orang lagi, di antaranya Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar. Mereka terus saja dengan segala upaya minta ikut, kadang-kadang dengan merendah-rendah dan mengharap, kadang-kadang dengan menangis dan lain kali dengan memamerkan otot-otot lengan mereka. Tetapi umur mereka yang masih terlalu muda dan tulang tubuh mereka yang masih lemah, Rasul lalu menjanjikan mereka untuk pertahanan di masa mendatang.

Begitulah Zaid bersama kawan-kawannya baru mendapat giliran mengikuti  barisan Rasulullah sebagai prajurit pembela Agama Allah dalam Perang Khandaq, yakni pada tahun ke lima Hijriah.

Kepribadiannya selaku seorang Muslim yang beriman terus tumbuh dengan cepat dan menakjubkan. Ia bukan hanya terampil sebagai pejuang, tetapi juga sebagai ilmuwan dengan bermacam-macam bakat dan kelebihan. Ia tak henti-hentinya menghapal Al-Qu’an, menuliskan wahyu yang diturunkan Allah untuk Rasulnya, dan meningkatkan diri dalam ilmu dan hikmat. Dan sewaktu Rasul menyampaikan da’wahnya ke luar negeri secara merata, dan mengirimkan surat-surat kepada raja-raja dan kaisar-kaisar dunia, maka diperintahkannya lah Zaid mempelajari sebagian bahasa asing itu yang berhasil dilaksankannya dalam waktu yang singkat.

Demkianlah kepribadian Zaid bin Tsabit menjadi cemerlang, dan ia dapat menempatkan diri dalam lingkungan pergaulan yang baru pada kedudukan yang tinggi, hingga ia pun menjadi tumpuan penghormatan dan penghargaan masyarakat Islam.

Berkata Sya’bi :
“Pada suatu kali Zaid hendak pergi berkendaraan, maka Ibnu Abbas lalu memegangkan tali kendali kudanya.” Kata Zaid kepadanya : “Tak usahlah, wahai putra paman Rasulullah !” yang segera dijawab oleh Ibnu Abbas : “Tidak, memang beginilah seharusnya yang kami lakukan terhadap ulama kami !”

Berkata pula Qabishah :
“Zaid di Madinah mengkepalai peradilan urusan fatwa, qiraat dan soal pembagian pusaka.” Dan berkata pula Tsabit bin Ubeid : “Jarang aku melihat seseorang yang jenaka di rumahnya, tetapi paling disegani di majelisnya seperti Zaid”. Dan kata Ibnu Abbas pula : “Tokoh-tokoh dari sahabat-sahabat Muhammad SAW. tahu betul bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang dalam ilmunya !”

Puji-puijan tentang kelebihannya itu yang dikemukakan secara berulang-ulang oleh sahabat-sahabatnya dapatlah menambah pemahaman kita terhadap tokoh yang oleh taqdir telah disediakan baginya tugas terpinting di antara semua tugas dalam sejarah Islam, yaitu tugas menghimpun Al-Qur’an.

******

Al-Qur’an datang secara berkala dan terbagi-bagi, sesuai dengan keperluan yang terjadi dalam perjalanannya yang terus berkembang dan situasi yang selalu berubah serta kendali yang berbeda arah.

Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak sedikit ahli baca dan ahli hafal Al-Qur’an yang mencatat atau menuliskannya. Di antara pemimpin-pemimpinnya ialah Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas, serta seorang yang mempuyai kepribadian yang mulia yang sedang kita bicarakan sekarang ini, Zaid bin Tsabit, moga-moga Allah meridhai beliau semua.

Setelah wahyu sudah sempurna turun, dan pada saat-saat terakhir dari turunnya, Rasul mengulang membacakannya kepada Muslimin, dengan menertibkan susunan surat-surat dan ayat-ayatnya. Dan sesudah Rasul SAW. Wafat, Kaum Muslimin segera disibukkan oleh peperangan mengahadapi kaum yang murtad. Dalam pertempuran Yamamah, banyak korban berjatuhan sebagai syuhada dari golongan ahli baca dan ahli hafal Al-Qur’an. Keadaan itu sangat mengkhawatirkan. Dan belum lagi api kemurtadan padam, maka Umar dengan rasa cemas, segera menghadap Khalifah Abu Bakar Siddiq RA dan dengan gigih memohon kepada beliau agar para qari’ dan huffadh segera diperintahkan menghimpun Al-Qur’an sebelum mereka mati syahid juga.

Khalifah pun shalat istikharah  kepada Allah lalu berunding dengan para sahabatnya dan kemudian memanggil Zaid bin Tsabit, sembari berkata kepadanya : “Kamu adalah seorang anak muda ynag cerdas, kami tidak meragukan kamu !” lalu diperintahkannya untuk segera memulai untuk menghimpun Al-Qur’anul Karim, dengan meminta bantuan para ahli yang berpengalaman dalam soal ini.

Maka bagkitlah Zaid melakukan amal bakti yang kepadanya tergantung masa depan Islam seluruhnya sebagai suatu Agama ! Dalam melaksanakan tugas yang sangat besar dan penting ini Zaid berhasil dengan amat gemilang. Tiada henti-hentinya ia menghimpun ayat-ayat dan surat-surat dari para dada penghafal Al-Qur’an dan dari catatan serta tulisan, dengan meneliti dan menyesuaikan serta memperbandingkan satu dengan lainnya, hingga akhirnya dapatlah dihimpun Al-Qur’an yang tersusun dan teratur rapi.

Amal kerjanya ini dinilai bersih oleh kata sepakat para sahabat moga-moga ridha Allah kepada mereka yang hidup semasa dengan Rasul dan selalu mendengarkannya dari beliau selama tahun-tahun kerasulan, teristimewa para ulama, para penghafal dan para penulisanya.

Dan berkata lah Zaid di waktu ia melukiskan kesyukuran besar yang dihadapinya mengingat kesucian tugas dan kemuliaannya :”Demi Allah, seandainya mereka memintaku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, akan lebih terasa mudah dari perintah mereka untuk menghimpun Al-Qur’an !”

Benarlah, sesungguhnya Zaid lebih memilih untuk memikul satu atau beberapa gunung di atas pundaknya daripada ia tersalah sekecil apapun dalam penulisan ayat atau menyusunnya menjadi surat sesuai dengan yang pernah dituntunkan  oleh Rasulullah. Tak ada bahaya atau kecemasan yang lebih besar menimpa hati nuraninya dan Agamanya melebihi kesalahan seperti ini, bagaimanapun juga kecilnya dan tanpa disengaja.

Tetapi taufik Allah mendampinginya, dan selain itu janji-Nya pun bersamanya, firman-Nya :
  
9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya[793].

[793] Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.

Maka berhasillah Zaid melaksankan tugasnya yang penting itu, dan telah diselesaikannya kewajiban dan tanggung jawabnya sebaik-baiknya.

*******

Ini merupakan tahap pertama penghimpunan Al-Qur’an. Tetapi penghimpunan kali ini masih tertulis dalam banyak mushaf. Dalam mushaf-mushaf itu ada perbedaan tanda-tanda harakat yang merupakan formalitas belaka, namun pengalaman mayakinkan para sahabat Rasul SAW. keharusan mempersatukan semua dalam satu mushaf saja.

Maka di masa Khalifah Utsman RA. di kala Kaum Muslimin terus-menerus melanjutkan perjuangannnya dalam membebaskan ummat manusia dari penindasan penguasa di negeri-negeri lain, meninggalkan kota Madinah dan merantau ke pelosok-pelosok yang jauh di saat setiap harinya orang berbondong-bondong masuk Islam dan berjanji setia kepadanya, waktu itu tampaklah dengan jelas hal-hal yang berbahaya yang diakibatkan oleh banyaknya mushaf, yakni timbulnya perbedaan bacaan terhadap Al-Qur’an, sampai-sampai di kalangan para sahabat sendiri.

Oleh karena itu, segolongan sahabat RA. yang dikepalai oleh Hudzaifah ibnul Yaman tampil menghadap Utsman, dan menjelaskan keperluan yang mendesak untuk menyatukan mushaf. Khalifah pun melakukan shalat istikharah kepada Allah dan berunding dengan sahabat-sahabatnya. Dan sebagaimana Abu Bakar dulu meminta tenaga Zaid bin Tsabit, sekarang Utsman meminta bantuannya pula.

Zaid lalu mengumpulkan sahabat-sahabat dan orang-orang yang dapat membantunya. Mereka mengambil beberapa mushaf dari rumah Hafshah putri Umar RA. yang selama ini dipelihara dengan baik di sana. Dan mulailah Zaid dan para sahabatnya menggarap tugas mulia ini.
Mereka semua yang membantu Zaid adalah penulis-penulis wahyu dan penghafal-penghafal Al-Qur’an. Namun, bila terdapat perbedaan--dan ternyata sedikit sekali

terdapat perbedaan itu--mereka selalu berpegang kepada petunjuk dan pendapat Zaid dan menjadikannya sebagai alasan kuat dan kata putus !

******

Dan sekarang di kala kita dapat membaca Al-Qur’anul Karim itu dengan mudah atau kita mendengarnya dibaca orang dengan dilagukan hampir-hampir tidak terbayang dalam pikiran kita kesukaran-kesukaran hebat yang dialami oleh orang-orang yang telah ditentukan Allah untuk menghimpun dan memeliharanya !

Sungguh, tak ada bedanya dengan kedahsyatan yang mereka alami dan nyawa-nyawa yang mereka korbankan, di kala mereka berjihad di jalan Allah untuk mengukuhkan Agama yang benar di muka bumi ini, dan melenyapkan kegelapan dengan cahayanya yang benderang.

******

Selasa, 05 April 2011

Rahasia dan Keutamaan shalat Dhuha

Hadits Rasulullah Muhammad saw yang menceritakan tentang keutamaan shalat Dhuha, di antaranya:
1. Sedekah bagi seluruh persendian tubuh manusia
Dari Abu Dzar al-Ghifari ra, ia berkata bahwa Nabi Muahammad saw bersabda:
“Di setiap sendiri seorang dari kamu terdapat sedekah, setiap tasbih (ucapan subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (ucapan alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan lailahaillallah) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari kemungkaran adalah sedekah. Dan dua rakaat Dhuha diberi pahala” (HR Muslim).
2. Ghanimah (keuntungan) yang besar
Dari Abdullah bin `Amr bin `Ash radhiyallahu `anhuma, ia berkata:
Rasulullah saw mengirim sebuah pasukan perang.
Nabi saw berkata: “Perolehlah keuntungan (ghanimah) dan cepatlah kembali!”.
Mereka akhirnya saling berbicara tentang dekatnya tujuan (tempat) perang dan banyaknya ghanimah (keuntungan) yang akan diperoleh dan cepat kembali (karena dekat jaraknya).
Lalu Rasulullah saw berkata; “Maukah kalian aku tunjukkan kepada tujuan paling dekat dari mereka (musuh yang akan diperangi), paling banyak ghanimah (keuntungan) nya dan cepat kembalinya?”
Mereka menjawab;  “Ya!
Rasul saw berkata lagi:
“Barangsiapa yang berwudhu’, kemudian masuk ke dalam masjid untuk melakukan shalat Dhuha, dia lah yang paling dekat tujuanannya (tempat perangnya), lebih banyak ghanimahnya dan lebih cepat kembalinya.”
(Shahih al-Targhib: 666)
3. Sebuah rumah di surga
Bagi yang rajin mengerjakan shalat Dhuha, maka ia akan dibangunkan sebuah rumah di dalam surga. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits Nabi Muahammad saw:
“Barangsiapa yang shalat Dhuha sebanyak empat rakaat dan empat rakaat sebelumnya, maka ia akan dibangunkan sebuah rumah di surga.” (Shahih al-Jami`: 634)
4. Memeroleh ganjaran di sore hari
Dari Abu Darda’ ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw berkata:
Allah ta`ala berkata: “Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat dari awal hari, maka Aku akan mencukupi kebutuhanmu (ganjaran) pada sore harinya” (Shahih al-Jami: 4339).
Dalam sebuah riwayat juga disebutkan: “Innallaa `azza wa jalla yaqulu: Yabna adama akfnini awwala al-nahar bi’arba`i raka`at ukfika bihinna akhira yaumika”
(Sesungguhnya Allah `Azza Wa Jalla berkata: “Wahai anak Adam, cukuplah bagi-Ku empat rakaat di awal hari, maka aku akan mencukupimu di sore harimu”).
5. Pahala Umrah
Dari Abu Umamah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci untuk melaksanakan shalat wajib, maka pahalanya seperti seorang yang melaksanakan haji. Barang siapa yang keluar untuk melaksanakan shalat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang melaksanakan `umrah…” (Shahih al-Targhib: 673).
Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan bahwa Nabi saw bersabda:
“Barang siapa yang mengerjakan shalat fajar (shubuh) berjamaah, kemudian ia (setelah usai) duduk mengingat Allah hingga terbit matahari, lalu ia shalat dua rakaat (Dhuha), ia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah; sempurna, sempurna, sempurna..” (Shahih al-Jami`: 6346).
6. Ampunan Dosa
“Siapa pun yang melaksanakan shalat dhuha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan.” (HR Tirmidzi)

Senin, 04 April 2011

Kerancuan Kisah Menjelang Wafatnya Rasulullah SAW

Assalamu’alaikum wr wb
Beberapa bulan yang lalu ketika saya sedang surfing di belantara internet, saya pernah menemukan satu artikel menarik disuatu website. Artikel itu ada yang berjudul “Detik Terakhir” atau ada judul versi lain yaitu “Detik-Detik Menjelang Wafatnya Rasulullah”, atau juga “Air Mata Rasulullah saw”. Mungkin beberapa dari kita ada yang familiar dengan kisah di dalam artikel tersebut. Silahkan search di Google dengan tiga keyword diatas, maka akan anda temukan kisah itu banyak di posting di berbagai macam website. Bahkan kisah itu sering bertebaran di bulletin board friendster, juga pernah saya lihat di multiply ini. Ya, kisah yang menggambarkan suasana wafatnya manusia mulia di hadapan Fatimah dan Ali itu berhasil membuat orang yang membacanya terharu biru dan rindu dengan sosok Rasulullah saw.
***Saya berhasil mendapatkan artikel yang dimaksud. Berikut adalah isi artikel tersebut***
AIR MATA RASULLULAH SAW
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?” “Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut.
Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. “Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,” kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.
Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu.
Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar khabar ini?” Tanya Jibril lagi. “Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah
berada di dalamnya,” kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.”
Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. “Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. “Badan Rasulullah mulai ding! in, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku - peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.” Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatiii?” - “Umatku, umatku, umatku”
Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.
Tapi ada yang janggal di kisah itu. Didalam artikel itu tidak dijelaskan siapa yang menceritakan kisah itu. Juga tidak jelas diambil dari riwayat-riwayat manakah kisah itu, padahal kisah itu menceritakan momentum wafatnya Nabi kita yang mulia yang sudah seharusnya kisah itu bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Kalau dalam ilmu hadits, perkara seperti ini dinamakan laa asla lahu (tidak ada sandarannya) karena tidak adanya kejelasan siapa perawi yang meriwayatkan kisah itu dan dari kitab apa kisah itu diambil.
Jadi apakah suasana Rasulullah saw ketika beliau wafat sama seperti artikel tersebut. Saya coba untuk mencarinya didalam buku Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam yang ditulis oleh KH Moenawar Chalil terbitan PT. Bulan Bintang Cetakan ke-7, tahun 1994. Buku ini berjumlah delapan jilid dan kisah tentang wafatnya Nabi Muhammad saw ada didalam buku ini di jilid ke tujuh halaman 193. Saya tidak menemukan kisah seperti artikel diatas dalam buku ini. Gema Insani Press juga telah menerbitkan kembali buku ini tahun 2001 dengan jumlah enam jilid.
Lalu siapakah yang ada disisi Rasulullah saw ketika beliau wafat, Fatimah dan Ali, ataukah Aisyah ?. Didalam buku rujukan saya tadi jillid ke tujuh hal. 193 dikisahkan ketika Nabi saw kesehatannya mulai terlihat membaik, para sahabat seperti Abu Bakar, Umar dan Ali meminta izin kepada Nabi saw untuk bisa pergi mengerjakan urusannya masing-masing karena hampir setengah bulan mereka selalu sibuk merawat Nabi saw sehingga banyak keperluan mereka sehari-hari yang terbengkalai. Maka Abu Bakar pergi ke rumah istrinya, Kharijah di Sunuh (nama suatu kampung di pinggir kota Madinah) dan dua sahabat lain, Umar dan Ali pun pergi meninggalkan rumah Rasulullah. Yang tinggal hanyalah Aisyah lalu kemudian datang Abdurahman bin Abi Bakar saudara laki-laki Aisyah. Dan ketika itulah Rasulullah saw wafat. Rasulullah saw wafat diwaktu matahari sedang terang-terangnya, pada hari Senin tanggal 13 Rabi’ul awwal tahun ke XI Hijriah, atau pada tanggal 8 Juni 632 Masehi [hal.196]. Para ulama ahli tarikh ada yang berselisih pendapat tentang tanggal wafatnya Nabi saw. Tapi bukan itu yang akan dibahas disini.
Mungkin hadits berikut akan lebih menjawab dipangkuan siapakah Nabi saw wafat. Dari hadits Abdullah bin Aun dari Ibrahim at-Taimi dari al-Aswad, dia berkata, Ditanyakan kepada Aisyah, mengenai perkataan orang-orang yang menerangkan bahwa Rasulullah saw telah memberikan wasiat kepada Ali maka ia berkata, “Apa yang diwasiatkan Rasulullah kepada Ali ?” Aisyah menjawab, “Beliau (Rasulullah) menyuruh agar bejana tempat buang air kecil dibawakan, kemudian ia bersandar dan akulah yang menjadi tempat sandarannya, tak lama kepala beliau terkulai jatuh dan ternyata beliau telah wafat tanpa aku ketahui. Jadi bagaimana mungkin orang-orang itu mengatakan bahwa Rasulullah saw memberikan wasiat kepada Ali ?” [Shahih al-Bukhari, kitab al-Wasaya 5/356 dari Fathul Baari, dan Muslim, kitab al-Wasiyah hadits no.1637]. Hadits tersebut ada didalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah yang ditulis oleh Ibnu Katsir, terbitan Darul Haq, Jakarta, Cetakan pertama tahun 2004 halaman 58.
Entah apa motivasi si pembuat artikel tanpa riwayat tersebut, yang jelas ada penyimpangan sejarah yang terjadi dan kalau dirunut dengan serius dan teliti tentang siapa yang berada di balik pembuatan kisah berbau propaganda tersebut, maka akan dengan mudah terjawab dan dengan mudah pula akan terlihat ada motivasi apa dibalik pembuatan kisah itu. Kelihatannya perkara ini hanyalah hal yang kecil bagi beberapa orang. Tapi dalam konteks ini kita sedang membicarakan sosok manusia mulia yang menjadi teladan bagi seluruh umat Islam di dunia, yang tentu dalam menceritakan setiap gerak-geriknya haruslah mempunyai dasar atau dalil yang shahih dan bisa dipertanggung jawabkan.
Dan yang lebih menyedihkan dibandingkan isi dari artikel itu sendiri adalah biasanya diakhir artikel yang laa asla lahu itu selalu dinstruksikan untuk disebar ke teman-teman yang lain. Harapan dengan disebarnya artikel itu mungkin ingin membuat temannya untuk ikut terharu dan lebih mencintai Rasulullah saw dan itu adalah niat yang sungguh baik. Sayangnya cara yang ditempuh kurang tepat. Padahal Al Quran telah jelas melarang hal tersebut, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” [QS. 17:36].
Dan hendaknya kita juga selalu ingat hadits yang satu ini agar lebih berhati-hati dalam meriwayatkan kisah atau hadits yang berhubungan dengan Rasulullah saw. Hadits yang diriwayatkan dari Salamah bin Akwa, ia berkata. Aku telah mendengar Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa yang mengatakan atas (nama)ku apa-apa (perkataan) yang tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka”. [HR Bukhari (1/35) dll, HR. Imam Ahmad (4/47)].
Wassalamu’alaikum wr wb